Tidak banyak orang seperti Rocky Dawuni di planet Bumi.
Pria berambut gimbal kelahiran Ghana ini disebut-sebut sebagai “Ghana’s
Bob Marley” berkat isyu sosial yang diangkat melalui lirik-lirik lagunya
yang memiliki peleburan nuansa reggae dan afrobeat, dua jenis musik
yang memang ia dengarkan sejak belia.
Rocky juga aktif dalam
kegiatan-kegiatan sosial. Ia tercatat sebagai salah satu duta Product
Red, yang didirikan oleh vokalis U2, Bono, demi meningkatkan kesadaran
soal AIDS sekaligus mengumpulkan dana untuk menghapusnya dari Benua
Afrika.
Ia juga merupakan penggagas festival musik di Ghana
bernama Independence Splash Festival yang diadakan untuk mengingatkan
seluruh masyarakat Benua Afrika secara keseluruhan akan kepentingan
menjadi merdeka di kehidupan modern. “Kemerdekaan adalah suatu hal yang
tidak boleh kita lupakan sampai kapan pun. Tak peduli kapan pertama kali
sebuah negeri meraih kemerdekaannya,” jelas Rocky kepada Rolling Stone. Setiap tahunnya, Independence Splash Festival diperkirakan menyedot 30 ribu pengunjung.
Prestasinya
di sirkuit musik pun tak kalah luar biasa. Agustus 2011 silam, Rocky
tampil di venue legendaris, Hollywood Bowl, atas undangan legenda hidup
Stevie Wonder. Beberapa nama lain yang juga meramaikan acara tersebut
mencakup Janelle Monae, Sharon Jones, Charles Bradley, dan juga Grace
Porter. Selain itu, Rocky juga merupakan salah satu penerima daftar
sepuluh artis terbaik Afrika versi CNN.
Berikut adalah hasil wawancara Rolling Stone dengan Rocky Dawuni di Bali, sehari sebelum ia bertugas sebagai pengisi acara hari terakhir (1/4) BaliSpirit Festival 2012.
Menurut Anda, apakah keadaan di Bali sesuai dengan hype yang diterima?
Ini adalah kedua kalinya saya datang ke sini dan saya merasa bahwa hype-nya
justru tidak cukup untuk mendeskripsikan betapa pentingnya daerah ini.
Saya pikir budaya Indonesia sendiri, secara keseluruhan, memberikan
banyak pembelajaran bagi belahan dunia lain mengenai hidup yang harmonis
di antara keragaman budaya. Bayangkan saja, Indonesia memiliki ribuan
pulau, budaya yang berbeda-beda, agama yang berbeda-beda. Walaupun
memiliki status sebagai negeri dengan penduduk Muslim terbanyak di
dunia, namun terdapat keselarasan yang indah di sini. Bali patut
dijadikan tempat awal bagi turis-turis dari seluruh dunia sebelum
mendatangi wilayah Indonesia lainnya. Harta karun budaya yang ada di
Bali membuat hype yang diterima terasa kurang.
Bagaimana keadaan spiritual di sini jika dibandingkan dengan tempat-tempat lain yang pernah Anda kunjungi sebelumnya?
Saya
datang dari Ghana, dan saya tumbuh di lingkungan keluarga dengan ragam
yang luas. Ghana memiliki segalanya, dari agama tradisional, Islam,
maupun Kristen. Ayah saya adalah seorang Muslim, Ibu saya penganut agama
Kristen, dan kami berada di lingkungan yang mayoritas memercayai agama
tradisional. Jadi saya sangat terekspos dengan pengalaman beragama yang
sangat berbeda-beda. Tapi setiap agama juga memiliki unsur manusia yang
kental. Tuhan memberikan manusia agama agar manusia bisa menjadi lebih
baik dalam menjalani hidup, jadi ada semacam hubungan antar manusia
dengan perbedaan agama yang dimiliki setiap daerah. Dan Bali adalah
salah satu tempat paling menakjubkan untuk mengalami hubungan antar
manusia yang harmonis. Jadi, iya, aspek spiritual di sini sangatlah
besar dan kuat.
Anda sering disebut sebagai “Ghana’s Bob Marley”, ada tanggapan mengenai julukan tersebut?
Bagi
saya, Bob Marley adalah salah satu eksponen terbesar untuk musik yang
memiliki komponen spiritual dan di saat bersamaan bercita-cita untuk
membangkitkan orang dari berbagai macam budaya. Dan itulah apa yang saya
ingin lakukan melalui musik saya sejak awal. Karena untuk setiap
generasi, harus ada seorang musisi yang berada di jalur tersebut, baik
di sirkuit mainstream maupun sidestream. Harus ada
seniman yang mau menggunakan musik untuk menginspirasi orang dari
berbagai budaya dan juga untuk menciptakan pembauran dan pemahaman
lintas budaya. Itulah yang saya lakukan dengan musik saya dan itu
jugalah yang dilakukan Bob Marley. Saya rasa itulah persamaan yang orang
lihat dari saya dan Bob Marley. Dan merupakan kehormatan besar bagi
saya untuk menerima julukan tersebut, karena Bob Marley melakukan
semuanya, dari sudut pandang musikal, dengan benar.
Sejak kapan Anda mulai menulis lagu?
Saya
mulai sejak kecil, sekitar umur lima tahun. Saya memiliki keterampilan
dalam membuat melodi. Di mana pun saya pergi, saya dapat menyaring
melodi-melodi yang terdengar. Saya juga merupakan bocah yang gemar
bernyanyi. Bahkan banyak orang yang menganggap saya menjengkelkan sampai
ada yang berkata, “Shut up, boy!” Hingga pada suatu saat saya
menyadari bahwa saya dapat memilah musik hingga komponen yang terdasar
dan memahami beberapa bagian sekaligus. Oleh karena itu, kepercayaan
diri saya untuk bermusik lantas meningkat dengan pesat. Saya sangat
merasa bahwa musik adalah panggilan hidup saya. Setelah itu, saya pun
mulai mencari karakter musik sendiri.
Kapan Anda memutuskan untuk berbicara soal isyu sosial dengan lagu-lagu Anda?
Isyu
sosial selalu memiliki porsi dalam lagu saya, karena ketika Anda tumbuh
di lingkungan yang saya tempati, selalu ada hal yang terjadi. Selalu
ada masalah yang harus disadari dan terdapat beberapa masyarakat yang
tidak mendapat kesempatan untuk berbicara. Saya ingin memberi harapan
kepada masyarakat tersebut dengan menggunakan kemampuan musikal yang
saya miliki. Singkatnya, musik merupakan medium yang saya gunakan untuk
memberikan kekuatan terhadap sejumlah komunitas masyarakat di segala
aspek.
Saya dengar Anda pindah ke Los Angeles?
Saya
tinggal di Los Angeles dan juga Ghana. Selain itu, saya juga
menjelajahi belahan dunia lain untuk menjalankan konser. Sepertinya saya
juga ingin membeli rumah di Bali. Tempat ini sangat indah. [tertawa]
Kenapa Anda memilih Los Angeles?
Istri
saya tinggal di Los Angeles, jadi itu adalah pilihan yang alami. Los
Angeles juga merupakan daerah menarik bagi saya karena di sanalah salah
satu pusat budaya yang mempengaruhi banyak daerah lain di dunia,
terutama dengan keberadaan Hollywood. Jadi saya merasakan keperluan
untuk mendidik diri saya sendiri soal Los Angeles sekaligus membawa
budaya tempat saya berasal.
Apakah tinggal Los Angeles menyebabkan Anda melalui proses penulisan lagu yang berbeda jika dibandingkan dengan di Ghana?
Awalnya,
saya enggan untuk merekam lagu di Amerika Serikat karena ketika itu
saya berpikir, ‘Saya adalah orang Afrika, saya harus pulang setiap kali
ingin menulis lagu.’ Lalu pada suatu saat saya menyadari bahwa Los
Angeles juga merupakan lokasi yang tepat bagi banyak makhluk kreatif di
seluruh dunia. Seluruh seniman hebat, seluruh musisi hebat, seluruh
aktor hebat, semuanya datang ke Los Angeles. Daya kreativitas di sana
sangatlah besar. Saya merasa bahwa Los Angeles adalah daerah yang tepat
untuk meningkatkan kesenian saya ke level berbeda. Inspirasi saya memang
datang dari Ghana, tetapi inspirasi-inspirasi tersebut disempurnakan
oleh sejumlah unsur yang ada di Los Angeles.
Apa yang paling Anda rindukan dari Ghana ketika Anda sedang tidak di sana?
[tertawa]
Saya rindu makanannya, budaya lokalnya. Menariknya, Bali sangat mirip
dengan tempat tinggal saya saat kecil. Tanamannya, tanahnya, cuacanya;
semuanya mirip! Saya merasa pulang kampung selama berada di sini.
Kalau Los Angeles?
Saya rindu akan keragaman budayanya. Anda dapat menemukan segala macam budaya di sana, dan semuanya tersusun dengan indah.
Anda
memiliki lagu berjudul "Download the Revolution" yang cukup berlawanan
dengan "The Revolution Will Not Be Televised" milik Gil Scott-Heron.
Menurut Anda, seberapa besar pengaruh teknologi terhadap revolusi?
Teknologi
merupakan komponen penting terhadap revolusi. "Download the Revolution"
berkisah soal bagaimana manusia akan berhubungan melalui sebuah medium.
Setelah terhubung, tujuan yang ingin dicapai sekumpulan manusia
tersebut menjadi hal paling penting. Revolusi memang suatu hal yang
dilakukan oleh manusia, tetapi katalisnya disemburkan oleh penemuan
teknologi. Dan saya percaya bahwa kini kita hidup di era Internet yang
berhasil merubuhkan banyak batasan atas hubungan antar manusia. Kita
sedang menciptakan paradigma baru, bahkan dunia baru, karena
perkembangan teknologi, tetapi kita harus selalu waspada terhadap efek
suatu revolusi. Revolusi hanya demi meraih revolusi bukanlah gaya saya.
Bagi saya, revolusi juga harus menghasilkan efek positif dan juga
hubungan antar manusia yang lebih baik. Semua lapisan masyarakat harus
mendapat kesempatan yang sama dalam memperbaiki kualitas hidup mereka
masing-masing.
source : Rolling Stone Indonesia
Slider[Style1]
Style2
Style3[OneLeft]
Style3[OneRight]
Style4
Style5
Tagged with: News Rocky Dawuni
About @InfoReggaeIndo
Ikuti perkembangan musik reggae di @InfoReggaeindo
- Terbaru
- Terpopuler
- Topik
Info Reggae Indonesia
Labels
- About US
- Album
- Amtenar
- ANOTHER PROJECT
- Ari Lasso
- Artikel
- Asap Uye
- Author
- Bajigur Reggae Family
- Bamburasta
- Bandluar
- BandReggae
- Berita Pilihan
- BieCulture
- Biografi
- Bob Marley
- Boys n Root
- Community
- Contact us
- Cozy Republik
- Dennis Brown
- Download
- Drake
- Ethiopia
- Event
- Gangstarasta
- Index Artis
- Info
- Jokjoker
- Kabar Reggae
- King Stitt
- Kirim berita mu
- Kirimanpembaca
- Mancanegara
- Maroon 5
- Masanies
- Matisyahu
- Mbah Surip
- Monkey Boots
- Movie
- Music
- News
- Nova Eliza
- Opini
- Pangeran Harry
- Peter Tosh
- Ras Muhamad
- Rasta Melon
- Resensi
- Rocky Dawuni
- Roots Bands
- Shaggydog
- Slank
- Snoop Dogg
- Steven Jam
- Submit
- Superheavy
- The Babylonians
- The Paps
- Tony Q Rastafara
- Uwe Kaa
- Video
- Videos
- Wallpaper
- With Campbill’s
- Ziggy Marley