Bob Marley, Musik, dan Kedamaian Jamaika | Info Reggae Indonesia

Slider[Style1]

Style2

Style3[OneLeft]

Style3[OneRight]

Style4

Style5

Judul Buku : Bob Marley Song Of Freedom
Penulis : Agus Zubair Azis (Jube)
Penerbit : Eja Publisher
Cetakan : Pertama, 2007
Tebal : xii + 164 Halaman

22 April 1978, legenda musik raggae Bob Marley bersama group bandnya The Wailers mengadakan konser bertajuk “The One Love Peace” di tanah Jamaika. Dalam konser itu, diiringi salah satu hits andalannya “One Love”, Bob Marley mengajak Perdana Menteri Jamaika Michael Manley dan pimpinan oposisi JLP Edward Seaga untuk naik ke atas panggung bersamanya. Diapit kedua tokoh politik itu, Bob Marley mengangkat tangan Manley dan Edward Seaga seraya memejamkan mata dan berteriak “Smile Jamaika”.

Sejak saat itu rakyat Jamaika seakan menemukan hidup baru setelah sekian lama dilanda krisis kemanusian akibat pertikaan saudara yang tak kunjung berakhir. Saling bunuh, teror, dan bencana kelaparan adalah kenyataan hidup yang dihadapi rakyat Jamaika. Perang saudara membuat Jamaika terpuruk diberbagai aspek kehidupan, politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama.

Lepas dari faktor teologis (takdir Tuhan), konser Marley telah merubah alur kehidupan rakyat Jamaika yang sebelumnya mengalami “kegelapan” akibat pertikaian kelompok oposisi-pemerintah menjadi lebih baik dan kedamaian semakin mendekati kenyataan.

Musik memang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup Bob Marley. Lewat musik ia berjuang, dan musik pula yang membuat namanya dikenal di seantero dunia. Karya-karya Marley tak kebanyakan musik lainnya—rangkaian kata, lirik, dan aransemen musiknya berbicara tentang ketidakadilan kemanusian yang melanda bumi khususnya tanah Jamaika.

Tak berlebihan kiranya jika Heru Shaggy Dog dalam kata pengantar buku berjudul Bob Marley Song Of Freedom memuji sang legenda raja reggae ini. ‘Bukan hanya sebagai seseorang “cool” berambut gimbal, mengisap ganja dan memainkan reggae, (dan berteriak “wayooo”) Bob Marley berhasil membuat formula dimana masalah politik, penindasan, perlawanan terhadap kesewenangan di homeland-nya Jamaika menjadi sesuatu yang menarik. Apik, untuk disimak lewat musiknya daripada harus mendengarkan seorang aktivis atau ahli politik. (hal xv)

Bagi Heru, musik Marley tidak sebatas didengar dan dilagukan, melainkan lebih dari itu menjadi sumber inspirasi untuk menciptakan ide-ide kreatif di group bandnya Shaggy Dog. Masyarakat akan bergoyang ria dan berdansa ramai-ramai saat lagu ciptaan Shaggy Dog didendangkan. Kini group band asal Jogja itu menjadi salah satu band papan atas di Indonesia.

Tetap dikenang

Pepatah bijak mengatakan, gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Meski telah tiada, nama Bob Marley tetap dikenang dunia lewat karya-karyanya yang monumental. “No Woman No Cry” masih akan terus menghapus air mata dari wajah seorang janda, “Exodus” masih akan memunculkan para ksatria, “Redemtion Song” masih akan menjadi tangisan emansipasi untuk melawan segala tirani, “Waiting in Vain” akan tetap menggairahkan, dan “One Love” akan terus menjadi himne internasional bagi kesatuan kemanusian.

Buku ini selain menceritakan peran musik Marley bagi kedamain Jamaika, juga memotret sisi lain dari sang Nabi Rastafarian ini, yakni kebiasaannya mengisap ganja. Bagi Marley ganja bukan barang biasa, ganja adalah daun “suci” yang dianugrahkan Jah (Tuhan) pada penduduk Jamaika. Ganja telah menginspirasi Bob Marley yang tertuang dalam berbagai buah karyanya yang hingga kini masih dilagukan pecintanya.

Robert Nesta Marley adalah nama lengkap Bob Marley putra pasangan kapten Norval Sinclair Marley dan Cedella. Ia lahir 6 Februari 1945 di Nine Miles, sebuah desa kecil di Jamaika. Banyak orang yang meramalkan Marley kecil kelak akan menjadi seorang tokoh besar. Ramalan penduduk itu didasarkan pada banyaknya benda-benda langit, meteor dan bintang yang meleset.

Sejak bocah, bersama Ibunya Cedella, Bob Marley hidup di bawah atap penderitaan. Tidak seperti anak pada umumnya, Marley kecil tidak mendapat kasih sayang dari sang ayah. Ia ditinggal ayahnya sejak lahir. Menikahi budak bagi keluarga Norval Sinclair yang berasal dari keluarga Inggris adalah aib. Dengan alasan itulah, Norval akhirnya meninggalkan Cedella bersama Marley di Nine Miles.

Menjadi Ibu sekaligus ayah bagi Marley tak membuat Cedella patah arang dalam mengarungi hidup. Harapan agar hidup yang dijalaninya bisa lebih baik membuat Cedella nekat meninggalkan tanah kelahiranya, Jamaika menuju Kingston. Di tempat itulah kepribadian Marley terbentuk dari didikan lingkungan yang “purba”. Kehidupan keras, ngeganja, perkelahian antar geng, minum-minuman keras, aksi penusukan adalah laku yang dijalani Bob Marley setiap hari. Di tengah kehidupan jalanan yang keras inilah Marley menemukan apa yang menjadi pilihan hidupnya, musik.

Akhirnya, kehadiran buku karya Jube ini menambah khazanah pengetahuan kita tentang sosok seniman reggae yang sangat populer pada abad ke-20, ya, dialah Bob Marley. Berambut dreadlock, menghisap ganja, penampilan sederhana, membuatnya banyak dikagumi masyarakat di seluruh dunia.

Pernakah kita melihat wajah Elvis yang tampan disulam di lengan baju tentara gerilya? Pernakah kita melihat Michael Jackson, Bob Dylan atau Madonna di cetak pada sarung-sarung pantai sepanjang Malioboro dan Pantai Kuta? Semua itu hanya dimiliki Marley, ikonografinya menjadi sebuah bahasa universal baru, sebagai simbol perlawanan dan kebebasan di bumi ini.

Sumber : Jurnal net

About @InfoReggaeIndo

Ikuti perkembangan musik reggae di @InfoReggaeindo
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Post a Comment


Top